,

Jakarta akan Tenggelam Bersama 115 Pulau Lainnya

21 September 2010 Leave a Comment
Perubahan iklim global dapat menenggelamkan Jakarta dan 115 pulau lainnya di Indonesia. Wakil Ketua Pokja Adaptasi Dewan Nasional Perubahan Iklim Dr Armi Susandi menyatakan kenaikan permukaan air laut sebagai dampak perubahan iklim global mampu menenggelamkan wilayah pesisir RI. Ibukota Jakarta juga bisa tenggelam jika tidak ada penanganan serius.

Oleh karena itu ia setuju ibukota dipindahkan ke Kalimantan. “Ide yang sangat bagus jika Jakarta bisa dipindahkan ke Kalimantan pada 2030 sebagai ibukota negara, karena potensi tingkat bahaya yang lebih rendah. Jakarta juga sudah sangat padat dan mencemari lingkungan,” ujarnya saat ditemui di Kampus UI Depok kemarin.

Armi yang juga dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB mengatakan, kajian juga menunjukkan ada 115 pulau yang akan tenggelam di Indonesia di 2100. Sementara wilayah utara pulau Jawa juga termasuk rawan tenggelam.

Pada 2010, permukaan air laut Indonesia diperkirakan naik 0,4 meter dan luas wilayah yang hilang adalah 7.408 km persegi. Sementara pada 2050 diperkirakan permukaan air laut akan naik 0,56 meter dengan luas wilayah tenggelam sebesar 30.120 km persegi.

Sedangkan di 2100 wilayah daratan Indonesia yang akan tertutup air sebanyak 90.260 km persegi, dengan kenaikan permukaan air laut 1,1 meter.

“Dampak bencana alam Kalimantan lebih rendah ketimbang Pulau Jawa, kenaikan permukaan air laut perairan Kalimantan lebih rendah daripada Pulau Jawa. Kalimantan lebih ekologis jika digunakan untuk menata kota, tanah yang tidak sesubur pulau Jawa juga bisa menjadi alasan agar pulau Jawa dioptimalkan unsur kandungan tanahnya,” ujar Armi.

Bappenas dan Kementerian Lingkungan Hidup sudah melakukan kajian mengenai kemungkinan untuk memindahan ibukota ke wilayah lain. Sedangkan Kalimantan tidak rawan gempa, karena selain bukan pertemuan lempeng tektonik juga tidak memiliki gunung berapi.

Namun Armi menuturkan jika ingin membuka ibukota di Kalimantan, jangan membuka hutan seluruhnya, karena memang struktur tanahnya berbeda dengan Pulau Jawa.

“Antara Palangkaraya dan Banjarmasin, saya lebih cenderung ke Palangkaraya karena memang jika ditata akan lebih baik. Wilayah topografinya cenderung datar sehingga memudahkan proses pembangunan, bisa menjadi pusat pertumbuhan baru sehingga menggeser penumpukkan ekonomi yang ada di Jawa dan menghindari perubahan iklim lebih mengancam Pulau Jawa,” tambah Armi.

Sementara Pengamat Ekonomi Lingkungan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Tezza Napitupulu kurang sependapat jika ibukota Republik Indonesia hanya sekadar dipindahkan jika tata ruang wilayahnya tidak dikelola dengan baik. Selain itu waktu kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim dinilai masih sangat lama.

“Saya sangat setuju jika memang dipindahkan, tetapi bukan berarti akan menyelesaikan masalah. Pemerintah sudah punya RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yang seharusnya konsisten peruntukkannya, kantor Kementerian LH saja ada di pinggir sungai. Jika dipindahkan ke Kalimantan lalu tidak diatur, apa mau dipindahkan lagi ke Papua?. Kembali ke konsistensi pelaksanaan RTRW, itu kunci dasarnya,” ujarnya.

Menurut Tezza, ekonomi lingkungan bukan hanya tanggung jawab negara maju, tetapi negara berkembang. Pemerintah jangan hanya mementingkan angka pertumbuhan semata, tetapi juga memperhatikan lingkungan. Sementara sejauh ini baru sektor energi yang diberi perhatian.

“Pembangunan ekonomi sebaiknya difokuskan memiliki dampak lingkungan luas seperti gorong-gorong untuk banjir jangan hanya mall, alasan lapangan pekerjaan tidak tepat. Trade-off antara pemikiran lingkungan dengan aspek ekonomi harus ada,” ujar Tezza.

Sumber Inilah.com

Sedangkan menurut peneliti teknik lingkungan Universitas Indonesia, Firdaus Ali "Jakarta Diramalkan Tenggelam pada 2012", Itu lantaran penyedotan air tanah secara berlebihan di Jakarta sehingga permukaan tanah Ibu Kota semakin turun. "Tidak hanya tenggelam, kita juga akan kehausan," kata doktor lulusan University of Wisconsin ini saat dihubungi Tempo kemarin.

Perhitungan tersebut berdasarkan data penurunan permukaan tanah di Jakarta yang rata-rata 10 sentimeter setiap tahun. Di Jakarta Barat, selama 11 tahun terakhir, permukaan tanah turun 1,2 meter. Di wilayah Kemayoran dan Thamrin, Jakarta Pusat, dalam 8 tahun terakhir turun 80 sentimeter. "Jika kondisi ini terus berlanjut, permukaan tanah Jakarta akan berada di bawah permukaan air laut," ujar Firdaus.

Segendang sepenarian, Ketua Harian Komite Evaluasi Lingkungan Kota Darrundono mengungkapkan eksploitasi air tanah berlebihan menyebabkan permukaan tanah turun. Menurut dia, suplai air tanah tak bertambah, sedangkan penggunaan semakin besar. "Krisis air tanah di Jakarta sudah memasuki tahap berbahaya," ujarnya.

Pemerintah DKI Jakarta berencana menaikkan tarif air tanah untuk rumah tangga mewah hingga industri 6-16 kali lipat dari sebelumnya. Kenaikan ini untuk mengurangi konsumsi masyarakat terhadap air tanah yang makin eksploitatif (Koran Tempo, 28 Februari 2009).

Menaikkan tarif air tanah, menurut Firdaus, merupakan salah satu instrumen untuk mengurangi penggunaan air tanah. Para pengguna air tanah akan dialihkan menjadi pengguna layanan Perusahaan Air Minum (PAM). "Makanya tarif air tanah harus lebih mahal dari tarif PAM," ujarnya.

Setiap tahun, Firdaus melanjutkan, sebanyak 320 juta meter kubik air disedot dari dalam tanah. Padahal angka aman hanya 38 juta meter kubik. Sementara itu, data resmi hanya 21 juta meter kubik. "Sisanya itu mencuri," katanya.

Menurut Firdaus, pengambilan air tanah yang gila-gilaan menyebabkan perut bumi kosong sehingga permukaan tanah turun akibat tekanan. Saat ini saja semakin banyak wilayah yang cekung. "Hujan lokal saja bisa membuat banyak daerah tergenang," katanya.

Turunnya permukaan tanah ini, kata Darrundono, menyebabkan Jakarta perlahan-lahan akan berada di bawah permukaan air laut. Intrusi air laut saat ini sudah mencapai 11-12 kilometer dari garis pantai. "Intrusi air laut sudah memasuki wilayah Setia Budi, Jakarta Selatan. Banjir akan semakin dahsyat," ujarnya. Intrusi air laut dan penurunan permukaan tanah juga bisa membuat bangunan ambles.

Darrundono juga mengkritik pembangunan superblok dan gedung tinggi yang bertebaran di Jakarta. Pembangunan ini ikut menggerus persediaan air tanah.

Sumber Korantempo


Postingan Menarik Lainnya :

0 komentar »

Leave your response!