Tato: Antara Stigma Masyarakat, Seni dan Religi

27 Oktober 2012 Leave a Comment
Tak bisa diingkari lagi. Tato telah semakin menjadi tren. Tak hanya para pesepak bola dunia dan kum selebritis tetapi juga anak - anak muda., khususnya yang tinggal di kota - kota besar. Cewek dan cowok tak ada bedanya. Kenapa tato jadi mewabah? Jawabnya tak cukup satu kalimat. Ada banyak pendapat yang saling melengkapi, namun tak jarang pula saling bertentangan bila sudah menyentuh aspek karakter, seni dan religi.


Dari banyak sumber didapat catatan. Asal mula tato bervariasi. Ada yang menyebut asalnya dari Mesir 3.000.000 tahun SM lalu yang ditemukan dalam tubuh mumi. Namun demikian, ada pula yang berpendapat tato berasal dari suku Maori sejak 12.000.00 tahun SM. Dalam bahasa Tahiti, Tattoo berasal dari kata 'tatu' yang artinya tanda. Hal tersebut dapat dilihat dari kesamaan gambar - gambar yang ada dalam Piramida di Mesir. Konon, karena bangsa Mesir suka mengembara , tato menjadi tersebar ke berbagai penjuru, khususnya Yunani, Persia dan Arab.

Saat kerajaan Roma berjaya, tato digunakan sebagai tanda pengenal khusus yang diperuntukkan bagi para budak dan tahanan perang. Tetapi di Amerika, mula - mula tato hanya diperuntukkan khusus bagi ternak sebagai penanda kepemilikan. Hal berbeda dilakukan suku Maori yang justru menganggap tato sebagai tanda kebaikan. Sedangkan para gengster Jepang yang dikenal dengan nama Yakuza, menggunakan tato sebagai penanda kepangkatan sekaligus penanda keluarga. Bagaimana dengan Indonesia?

"Dulu dianggap buruk karena sebagian besar ada pada para preman dan narapidana," ungkap Johan Sebastian, mahasiswa penggemar tato asal Jakarta. Menurutnya, tato tak berhubungan dengan stigma karakter apakah orang itu berperilaku jahat atau tidak. "Lihat saja para pemain sepakbola. Meski tubuhnya penuh tato tapi tetap berprestasi," tambahnya.

Sebuah catatan menyebutkan, rajah atau tato mulai merambah sampai ke China sekitar tahun 2.0000 Sebelum Masehi. Di negeri Tirai Bambu ini, istilah tato berubah menjadi Wen Shen. Saat dinasti Ming berkuasa pada 350 tahun yang lalu, tato lebih banyak digunakan oleh kaum perempuan agar wajah mereka terlihat buruk demi menghindari perkosaan yang kerap kali dilakukan pasukan kerajaan usai menang dalam sebuah pertempuran.

Dari perspestif agama tertentu, seni menggambar tubuh (tato) dianggap terlarang. Bahkan juga diharamkan karena dikategorikan sebagai tindakan melukai atau menyakiti diri sendiri. Akibatnya, image tato menjadi negatif sebab memakai tato dianggap melakukan pemberontakan terhadap tatanan sosial dan nilai agama. "Yang saya tidak mengerti, mengapa tato hanya dianggap menambah sensualitas ya?," tanya Emilia Priandari, mahasiswi UGM yang secara terbuka mengaku tidak suka melihat cewek bertato. "Yang berbahaya itu justru saat mereka mentato tubuhnya dengan jarum yang tidak steril, salah - salah bisa berakibat fatal," ujarnya.

Meski demikian, ia tidak sepakat bahwa para pemakai tato diberi stigma sebagi anak nakal yang berperilaku buruk. "Contohnya ya para koruptor itu. Meski tubuh mereka tak bertato tapi perilakunya bikin sengsara banyak orang. Apalagi di tengah kontroversi penaikan harga BBM yang memberatkan rakyat," imbuhnya.

Pendapat berbeda dikemukakan Panggah Kombang, seorang mahasiswa asal Solo. Ia merasa heran, mengapa anak -anak muda bisa begitu saja menggandrungi tato? Mungkinkah mereka hanya pengin meniru para selebritis perempuan bertato? Atau sekedar ingin tampil sangar? "Saya tidak berani menduga. Tetapi bagi saya, anak muda apalagi mahasiswa, tak boleh sekedar ikut - ikutan. Sebesar apapun tren yang sedang melanda harus tetap disikapi secara kritis," ujarnya. Kalau memang bertato bisa menjadi lebih prestatif, silahkan saja. Tapi kalau tidak, bisa - bisa dianggap sebagai kompensasi dari rasa ketidakpercayaan pada diri sendiri.

Tahun 1983, rezim Orde Baru melakukan operasi pemberantasan para preman lewat Petrus (Penembak Misterius). Ketika itu, hampir semua preman memakai tato dan dibunuh secara misterius di berbagai tempat. Ada yang tergeletak di tengah pasar, pematang sawah, pinggiran kota dan tempat - tempat lain yang mudah dilihat. Akibatnya, tak sedikit warga masyarakat yang bukan preman berusaha keras menghapus tato di tubuh mereka.

"Sekarang jauh berbeda. Tak semua anak muda bertato distigmatisasi sebagai preman," ujar Johan yang juga disetujui Emilia dan Panggah. Apalagi, bagi sebagian wanita, tato dianggap sebagi sarana untuk memperlihatkan estetika tubuhnya, meski sebagian lain perempuan mengatakan hal yang sebaliknya. Lalu siapa yang benar? Semuanya bergantung pada bagaimana cara seseorang berfikir, bersikap dan bertindak.

Postingan Menarik Lainnya :

0 komentar »

Leave your response!