Suasana Kehidupan Di Kampung Pulo

10 Oktober 2012 Leave a Comment
Kampung ini berada di sebuah bukit kecil di tengah danau. Untuk menuju kesana harus menyeberang dengan menggunakan rakit bambu. Perjalanan air dengan rakit itu hanya membutuhkan waktu sekitar 7 menit.


Secara administrasi, Kampung Pulo berada di Desa Cangkuang, Garut, Jawa Barat. Oleh masyarakat sekitar, Kampung Pulo dianggap sebagai warisan sejarah sekaligus menjadi kampung adat. Penduduk yang kini tinggal di rumah - rumah yang berada di Kampung Pulo ialah keturunan Arif Muhammad, Panglima perang Sultan Agung dari Kerajaan Mataram. Kehidupan mereka sangat harmonis dan sederhana dengan memegang nilai - nilai adat.

Nilai adat yang dimaksud ialah yang diajarkan Arif Muhammad, yang dianggap sebagai tokoh oleh masyarakat disana karena telah membangun kampung itu. Ia datang ke kampung itu, menurut cerita, karena keperluan untuk berdakwah agamanya, Islam. Dalam penuturan warga, penduduk asli Kampung Pulo sebelumnya beragama Hindu. Setelah berjalannya dakwah, sebagian memeluk agama Islam. Namun demikian, penduduk disana sejak dahulu hingga sekarang hidup rukun. Hal itu bisa dibuktikan dengan peninggalan budaya (benda) dan nilai - nilai kearifan yang terus dipelihara masyarakat Kampung Pulo.

"Meskipun sudah ada berabad - abad yang lalu, kearifan budaya di Kampung Pulo masih kami jaga dengan baik. Termasuk pantangan - pantangan juga konsisten kami terapkan dalam kehidupan sehari - hari," ujar seorang warga. Budaya dan adat istiadat di kampung itu yang terpelihara dengan baik diantaranya petilasan nenek moyang, upacara spiritual termasuk sykuran dan pembacaan wirid pada waktu tertentu serta pelestarian bangunan bersejarah disana.

Dalam mendirikan bangunan, misalnya, atap rumah tidak boleh berbentuk jure dihindari karena dahulu anak laki - laki Arif Muhammad saat akan di khitan diarak memakai jamapana (tandu) beratap jure. Saat diarak dan disambut alunan gamelan dan gong besar tiba - tiba terjadi bencana berupa angin besar yang membuat anak Arif terjatuh dari jampana kemudian meninggal.

Bercermin dari peristiwa itulah, saat setiap upacara adat penduduk Kampung Pulo tidak diperkenankan membunyikan gong besar. "Makanya kata leluhur kita disini, keturunan kula (saya) tidak boleh membangun rumah berbentuk jure dan memukul gong," ujar Tatang Sanjaya, keturunan ke sembilan Arif Muhammad.

Di tengah - tengah Kampung Pulo juga ditemukan rumah berjejer yang jumlahnya enam unit. Rumah adat tersebut terawat dengan baik. Ternyata ada kisah dibalik keberadaan bangunan itu. Jumlah rumah tersebut tidak boleh ditambah dan dikurangi. Alasannya, selain menyimbolkan enam anak perempuan Arif Muhammad, kearifan lainnya ialah merupakan simbol rukun Islam.

Penduduk Kampung Pulo taat dalam beragama dan menjadi pemelihara nilai - nilai Islam yang telah ditanamkan para pendahulu mereka. Lain halnya dengan ketidakberadaan hewan berkaki empat di Kampung Pulo. Dalam memelihara ternak, ternyata masyarakat disana juga mentaati aturan yang berlaku sejak generasi pertama mereka. Mereka tidak berani memelihara hewan berkaki empat yang besar di wilayah kampung adat.

Hal itu dimaksudkan untuk menjaga kebersihan Kampung Pulo karena disana banyak terdapat makam yang disucikan. "Selain itu dahulu para leluhur juga hanya hidup seadanya dari apa yang ada di wilayah kampung adat," ujar Tatang. Keunikan Kampung Pulo tersebut ternyata mengundang perhatian banyak wisatawan yang penasaran. Termasuk aturan atau tata cara berziarah yang mereka terapkan.

Masyarakat disana tidak diperkenankan datang berziarah pada Rabu. Waktu ziarah dimuali dari Selasa sore pukul 15.00 WIB hingga keesokan sore harinya kira - kira pukul 15.00 WIB juga. Larangan berziarah atau berkunjung ke kampung adat pada Rabu itu dimaknai karena dahulu Embah Dalem Arif Muhammad menggunakan waktu itu untuk berkonsentrasi mengajarkan agama Islam. Hari Rabu juga merupakan hari istirahat warga kampung adat saat itu.

"Sebagai penerusnya apa yang diajarkan oleh moyang kami itu kami jalankan sebaik - baiknya saat ini," tukas Tatang. "Hari Rabu itu kula (saya) tidak mau diganggu," begitulah leluhur kami mengajarkan. Sebagai kampung adat yang kental akan ajaran Islam yang diturunkan secara turun - temurun, berbagai ritual keagamaan juga dilaksanakan di Kampung Pulo. Ritual adat yang rutin dilakukan ialah melakukan syukuran menyambut datangnya bulan Maulud atau Rabiul Awal.

Memasuki tanggal 12 di bulan Maulud itu masyarakat melaksanakan syukuran besar - besaran. " Kita semua penduduk adat disini berkumpul bertawasul sambil membawa makanan di suatu tempat," terang Tatang. Selain ritual tersebut, pada tanggal 14 di bulan yang sama dilakukan upacara adat memandikan benda - benda pusaka seperti keris, batu aji dan peluru dari batu yang dianggap bermakna dan membawa berkah. Upacara memandikan benda keramat itu dilakukan pada tengah malam tepat pukul 12.00 WIB.

Ritual terakhir ialah melakukan tawasul membaca ayat - ayat suci Al - Quran pada penghujung bulan Maulud sekaligus pertanda berakhirnya dan melepas bulan Maulud. Meskipun masih konsisten menjalankan adat istiadat yang diwariskan moyangnya, Tatang Sanjaya mengaku merisaukan keberlangsungan nilai - nilai adatnya.

Menurutnya, semakin terlihat perubahan yang terjadi di kampung adat. "Misal, aturan tidak boleh menambah rumah adat dilanggar petugas Dinas Pariwisata yang menambahkan bangunan berupa pos penjagaan, museum, dan warung - warung penjual pernak - pernik wisata yang ada disini," pungkasnya.

Postingan Menarik Lainnya :

0 komentar »

Leave your response!