Layanan OTT, Dicintai Sekaligus Dibenci

19 Maret 2012 Leave a Comment
Google, Facebook, Twitter, dan lainnya adalah salah satu contoh fenomena global untuk jenis layanan over the top (OTT). Layanan yang hidup dari trafik pengunjung internet ini disukai sekaligus dibenci.

Ya, tanpa mereka, internet serasa hambar. Tak pelak, kehadiran mereka bak menjawab dahaga akan killer apps konten di internet yang bikin keranjingan untuk terus berinteraksi di dunia maya.

Maka tak heran, begitu keran jaringan broadband dibuka, maka berhamburanlah trafik data yang lalu-lalang melalui jaringan operator. Kehadiran OTT, lambat laun membuat operator telekomunikasi lokal kelimpungan. Tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh negara.

"Permasalahan ini sudah menjadi concern operator secara global. Tahun lalu sudah muncul, dan sekarang kian menajam," kata Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos Informatika Kementerian Kominfo, Muhammad Budi Setiawan.

Operator dituntut harus terus berinvestasi besar di jaringan lokal dengan membangun base transceiver station, jaringan serat optik, satelit, dan infrastruktur jaringan lainnya, agar trafik data yang disalurkan tidak drop.

Risiko ini harus ditanggung operator manapun jika tak mau kehilangan pelanggan potensialnya.

Investasi yang dikeluarkan bisa dibilang tidak sedikit. Selain harus jor-joran membangun jaringan lokal, operator juga harus terus memperlebar pipa jaringan ke mancanegara demi bandwidth internasional. Baik itu melalui serat optik, maupun satelit.

Dengan semakin menggilanya trafik Google, YouTube, Facebook, Twitter, dan sejenisnya, bahkan termasuk akses BlackBerry di Indonesia, menunjukkan betapa lemahnya regulasi dalam mengantisipasi fenomena OTT, yang didominasi oleh pemain global.

Hingga di suatu titik, kesabaran operator akhirnya habis juga. Ketua Komite Tetap Bidang Telekomunikasi Kadin, Johnny Swandi Sjam, menyebut OTT sebagai bahaya laten yang siap menggerogoti operator. OTT dinilai hanya membebani trafik yang dibangun dari jaringan dengan capital expenditure besar.

Presiden Direktur dan CEO Indosat Harry Sasongko prihatin, infrastruktur jaringan yang telah dibangun susah payah oleh operator, porsinya malah lebih besar dinikmati oleh OTT.

"Revenue OTT dari iklan tumbuh signifikan berbanding lurus ke atas seiring terus melesatnya trafik data. Sementara operator hanya naik sedikit, bahkan cenderung datar karena harus terus berinvestasi agar jaringan bisa tetap terjaga. Dan sayangnya, tak ada spirit berbagi keuntungan dari OTT," ketusnya.

Terlambat Diatur

Kementerian Kominfo sendiri mengakui agak terlambat mengantisipasi fenomena layanan OTT global ini. Sebelumnya, OTT belum dinilai sebagai ancaman serius karena batasan antara operator jaringan dan jasa nyaris tanpa batas sebagai imbas dari konvergensi.

"Operator telko menjadi sedikit meradang karena perkembangan OTT lebih cepat dari yang mereka perkirakan semula. Masalah ini menjadi agak rumit karena kami Kominfo juga mengakui agak terlambat mengantisipasi fenomena tersebut," sesal Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo, Gatot S Dewa Broto, kepada detikINET, Jumat (16/3/2012).

Kominfo sendiri mengaku tidak bisa sembarang memaksakan OTT untuk dikategorisasikan pada suatu jenis layanan tertentu selama UU Telekomunikasi No. 36/1999 tidak diubah beserta turunannya.

"Itu sebabnya, Kominfio sudah mengantisipasinya via RUU Konvergensi. Mengingat RUU tersebut masih belum tahu kapan selesainya, karena mulai dibahas di Senayan (DPR) saja juga belum, mungkin ada baiknya digulirkan wacana penyusunan Revisi RPP Penyelenggaraan Telekomunikasi, yang di dalamnya bisa menjangkau OTT dengan dalih sebagai bagian dari jasa multimedia," papar Gatot.

Empat tahun lalu, wacana Revisi RPP tersebut pernah muncul. Tetapi, operator tidak tertarik karena dianggap hanya akan mengakomodasi pelaksanaan USO. "Nggak seksi bagi mereka," sindir Gatot.

Di sisi lain, akan ada regulasi lain yang dalam waktu dekat juga bisa menjangkau OTT, yaitu RPP Penyelenggaraan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) No.8/2011. OTT akan masuk dalam kategori penyelenggara transaksi elektronik.

"Masalahnya hanya bisa menjerat mereka pada kewajiban pembangunan data center saja. Tetapi di luar itu, mereka sangat leluasa. Tapi untuk sementara, saya kira itu win-win solutionnya. Mereka para OTT juga ikut membangun jaringan di Indonesia," jelas Gatot.

Mengenai wacana regulasi interkoneksi antara operator dengan OTT, menurut Gatot, aturan itu dinilai tidak cukup kuat karena domainnya terbatas.

Postingan Menarik Lainnya :

0 komentar »

Leave your response!